Search
Close this search box.

Chairil Anwar di Rawamangun

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam,
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada di sisiku selama kau menjaga daerah yang mati ini.

Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, berlucut debu…
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu.

Chairil Anwar, 1948

Pertengahan 2010, kira-kira Agustus. Saya pernah lihat mading tangga di lantai 2 Gedung G, di sekretariat Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM), organisasi penalaran dan literasi—tempat menginap saya selaku penghuni kampus. Di mading itu tempampang salinan lengkap PERJURIT JAGA MALAM, Chairil Anwar, dalam bentuk lukisan cat. Saya selalu lihat puisi Chairil tersebut setiap kali turun berangkat masuk kelas, atau turun beli makan, kopi sachet, ngeteng rokok, dsb.

Saya tidak pernah tahu siapa yang buat. Sampai pada November 2010, kira-kira jam 1 siang, saya jalan dari Jalan Sunan Giri melewati Teater Terbuka (Terbuk) untuk berangkat kuliah setelah bermalam di Asrama Sunan Giri. Yang namanya siang, matahari panas. Haus rasanya. Jalan ke arah Terbuk, saya dapati kawan sekelas, yaitu Lukman, sedang berlatih teater bersama rekan UKM lainnya. Di dekat posisi Lukman berdiri, ada sebuah botol air mineral. Dingin! Saat menghampirinya, saya langsung teguk air di botol itu, nyaris habis setengahnya. Persis di samping botol itu seorang pria bertopi melempar tatapan begitu galak ke arah saya. Aneh sekali. Saya tidak tahu kenapa.

Pukul 14.00an, Lukman tiba di kelas. Telat 1 jam lebih dari jadwal kuliah semestinya. Saya duduk di barisan kursi belakang, dan Lukman menghampiri saya. “Tadi bukan minum gue. Itu punya senior gue. Lu dicariin. Mau ditampol. Songong banget, katanya.” Ah cuma air—lebay banget senior lu, respons saya ke Lukman. Tapi saya ingat tatapan mata pria itu. Ya, mata yang galak.

Namun, tidak ada yang menampol saya setelah kejadian Terbuk itu. Perlu saya akui, dulu tingkah saya amat songong dan belagu. Bisa jadi itu karena muda. Umur saya baru 19 tahun. Hingga suatu petang di Desember, saya diajak Raymond, kakak tingkat di Jurusan Bahasa & Sastra Inggris, main ke Unit Kesenian Mahasiswa (UKM) yang ruang sekretariatnya di bawah LKM. Raymond adalah senior yang memberi referensi bacaan seputar teater dan sastra. Pengetahuannya luas. Ia lima tahun di atas saya, Angkatan 2005.

Yang terjadi kemudian adalah, di UKM, saya bertemu dengan pria bertopi di Terbuk pada November sebelumnya. Ya, dia orangnya. “Kenalin. Ini Ibhe. Dia juga suka puisi. Kayak lu.” Pria itu bernama Ibhe. Orang yang ingin menampol saya. Kami bersalaman, lalu saya bilang, “Lu yang waktu itu di Terbuk ya? Yang botol air mineral, kan?” Iye, katanya. Matanya masih sama. Saya pikir, orang ini akan memukul saya di tempat, tetapi tidak. Petang itu, ada Aldo, juga Banyu. Mereka semua 5 tahun di atas saya. Kami lantas ngobrol seputar sastra, juga apa pun yang terlintas. Saya kikuk memanggil nama Ibhe. Sikapnya dingin.

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Saya kemudian tambah sering ke UKM. Ketemu Raymond, Aldo, dan Ibhe. Tentunya harus ada Raymond. Hingga suatu malam, Raymond dan Aldo pulang duluan. Tersisa saya dan Ibhe. Awalnya rada canggung. Ibhe tipe maskulin yang cool, macho, tapi ramah dalam tutur. Melalui obrolan kami, saya tahu ternyata Ibhe dulunya anak STM Boedoet (Boedi Oetomo), sekolah yang beken karena doyan tawuran. Percakapan kami terus bergulir, sampai saya menyadari jarang ngobrol dengan Raymond atau Aldo atau Banyu.

Mulai dari situlah, saya ingat, kami semakin akrab. Saya dan Ibhe. Di antara teman-teman, kami berdua yang paling rutin tukar karya, waktu itu pilihannya adalah puisi. Di situlah kami bertukar ‘suara’. Ibhe selalu pulang larut, rumahnya di Sarang Bango, Jakarta Utara ujung. Meski begitu, ia lebih sering menginap di UKM malah.

Sekarang 2024, dan kami sudah tidak di kampus. Saya dan Ibhe yang tersisa lebih intens bertemu. Pada 2020, Ibhe merilis buku puisi perdananya, Anotasi Sore (Anagram). Pada Juli 2022, saya diminta mengisi podkes merayakan 1 Abad Chairil Anwar. Saya pilih bahas PERJURIT JAGA MALAM, salah satu puisi Chairil untuk salah satu bahan podkes, karya mengingatkan saya kepada Ibhe. Sebab juga, lukisan di mading itu ternyata Ibhe-lah yang membuat.

Ada orang-orang yang hadir dalam hidup kita untuk memaklumi kebodohan kita. Mereka yang tidak perlu menerima maaf dari kita, melainkan mereka ingin kita memaafkan diri kita terlebih dahulu. Saya tidak pernah meminta maaf soal peristiwa air mineral ke Ibhe, atau menggantinya sama sekali, tapi kami tidak ke mana-mana, masih di Rawamangun. Bersama Ibhe, saya bahagia mendewasa dalam berkarya dan bergaul. Dialah pembaca Chairil Andwa tulen di lingkungan kami. Bukan sekadar poser, gimmick, atau gaya-gayaan. Ibhe sahabat dan guru sekaligus, buat saya. Karena segala yang berkenaan dengan karya Chairil Anwar pada Ibhe-lah saya bertanya. Satu dekade lebih kami tidak pernah kehabisan kata-kata. Dan itulah yang patut disyukuri.

Lukisan Chairil Anwar dan salinan lengkap PERJURIT JAGA MALAM terakhir saya lihat pada 2017. Setelah itu, saya tidak tahu siapa yang menghapus, menibannya dengan cat-blok lain. Pada 2017 itulah, saya lihat mading itu masih terpampang: berubah kuning, sementara puisi dan potret diri Chairil Anwar dikuas hitam. PERJURIT JAGA MALAM adalah kami yang menemu malam tanpa pernah tahu nasib waktu. Pada akhirnya catatan ini pribadi. Kami tidak pernah ketemu Chairil Anwar. Rasanya tidak perlu. Cukup melalui puisi, kita bisa melihat kelebat bayangan pengalaman empiris manusia, bukan? Dan pengalaman itu bisa kita adopsi, berabad-abad kemudian, mungkin.

Ibhe, alasan saya membaca Chairil Anwar, di masa-masa awal saya mengenal sastra. Oktober 2023, kami merilis buku puisi berbarengan. Ibhe menulis Cemara Laut—yang dikerjakannya selama pandemi Covid-19. Buku kami diperbincangkan di Atelir Ceremai.

Share the Post: