Perbincangan tentang Obyek yang Bersuara: Ulasan atas Tiga Monolog

Monolog sedari awal sudah menawarkan paradoks karena bagaimanapun monolog itu sendiri merupakan dialog. Kita tahu bahwa ketika seseorang berbicara, dia pasti berbicara kepada orang lain. Berbicara sudah terlanjur menjadi tindakan manusia yang tercipta dalam kebersamaan, yang mempersyaratkan kehadiran orang lain, sebuah tindakan di dalam dan melalui komunitas atau masyarakat. Karena itu, tidak mungkin kita memahami monolog secara harfiah sebagai “berbicara sendiri”, yaitu berbicara tanpa kehadiran orang lain, tanpa membayangkan orang lain. Ringkasnya, tidak mungkin ada purifikasi atau pemurnian suara sendiri. Suara seseorang selalu berada dalam lingkungan pertemuan dengan suara-suara pihak lain. Dengan kata lain, pada dasarnya tidak ada monolog dalam pengertian murni dan harfiah. Karena itu, menurut hemat saya, kita perlu meletakkan pengertian monolog sebagai sebuah teknik semata di dalam dialog, sebuah modus percakapan, cara khusus untuk mengajak berbincang. Dan, teknik monolog itu muncul justru ketika dialog yang konvensional sudah penuh dengan pembungkaman atas suara yang lain. Dalam pengertian inilah saya hendak membahas tiga monolog yang dipentaskan di Atelir Ceremai pada tanggal 20 Desember 2019 yang lalu.

Pementasan tiga monolog ini sebenarnya dimaksudkan sebagai upaya alih wahana dari cerpen ke drama monolog. Upaya ini merupakan kolaborasi dari beberapa anggota komunitas teater di lingkungan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, yaitu TED (Theatre of English Departement), Bengkel Sastra, dan Teater Zat. Mereka berusaha membaca, menafsirkan kembali, dan mengalih-wahanakan beberapa cerpen karya Angelina Enny yang sudah diterbitkan dalam kumcer Nokturnal Melankolia (2017). Dari proses ini saja, kita bisa melihat betapa monolog yang mereka hasilkan sebenarnya lahir dari perbincangan dengan bentuk dan medium karya yang lain, yaitu cerpen. Proses perbincangan ini membawa dampak tersendiri bagi monolog yang dihasilkan. Saya tertarik mengulas hal ini lebih jauh.

Tiga Monolog yang Berhasil

Monolog pertama dimainkan oleh Niken Monica (@nikenmoo). Dia mampu memindahkan kegetiran hubungan seksual yang instrumentalistik dari tema cerpen “Barbie” ke dalam gaya akting yang sinistik. Dalam penampilannya Niken menggunakan teknik tatapan kosong yang mampu menciptakan suasana depresif selama pertunjukan. Cerpennya sendiri bercerita tentang pengalaman seksual seorang perempuan bernama Barbie yang menjadi “simpanan” seorang petinggi BUMN yang di ujung ceritanya kita menjadi tahu bahwa sebenarnya Barbie adalah sebuah boneka seks. Kejutan di akhir cerita seperti ini menyadarkan kita bahwa Angelina Enny, pengarangnya, rupanya menggunakan strategi personifikasi dalam cerpennya, yaitu dengan menjadikan sebuah boneka dapat menyuarakan isi hati seorang manusia. Dari sini, saya kira, cukup jelas bahwa Enny sedang bicara tentang perempuan yang diobyektifikasi secara seksual. Ketika sosok yang diobyektifikasi itu bisa menyuarakan isi hatinya, kita pun dihadapkan pada efek naratif ironi.

Efek inilah yang kemudian digali lebih jauh oleh Niken dalam pertunjukan monolognya melalui gaya akting sinistik yang depresif. Mengalih-wahanakan sosok Barbie yang seperti itu sebenarnya merupakan tantangan yang berat. Pemainnya harus mampu menampilkan pergeseran bolak-balik yang halus dalam sosok Barbie ketika menjadi subyek (manusia) dan ketika menjadi obyek (boneka). Pilihan Niken untuk menggali ekspresi wajah (terutama ekspresi mulut) yang sinis, saya kira, merupakan cara dia untuk menempati posisi  subyek Barbie. Sinisme, kita tahu, adalah posisi kesadaran subyektif yang cukup rumit karena perasaan seperti ini muncul dari kondisi ketidakberdayaan sekaligus keinginan melawan. Ketika Niken memadukan sinisme dengan tatapan kosong yang depresif, sosok Barbie berubah menjadi obyek. Perpaduan ini, jika ditambah dengan semacam transisi akting berupa tick yang neurosis—setidaknya itu yang dapat saya bayangkan—membuat penampilan Niken tidak hanya akan membawa aura depresif, tetapi juga kegetiran yang mengerikan (dreadful) tentang bagaimana seorang manusia dilucuti subyeknya, tentang bagaimana sosok perempuan diobyektifikasi secara seksual.

Monolog kedua mencoba mengalih-wahanakan cerpen “Malam Kelima Belas”. Cerpen ini bercerita tentang tiga perempuan Indonesia-Tionghoa dari generasi yang berbeda, yaitu seorang nenek, menantu, dan cucu. Ketiganya sedang menunggu satu orang anggota keluarga yang terlambat datang untuk merayakan kebersamaan di malam Cap Go Meh. Dalam momen menunggu itulah kita dibawa pada suasana perbedaan budaya antar-generasi yang tetap berada dalam kebersamaan yang mesra dari sebuah keluarga. Akhir cerpen ini memberikan kejutan pada kita karena ternyata ketiga perempuan itu sebenarnya sudah meninggal dan kini foto mereka dipajang di atas meja sembahyang yang didatangi oleh seorang anggota keluarga yang terlambat datang itu—yang tidak lain adalah anak, suami, dan ayah dari masing-masing mereka—untuk memberikan penghormatan di malam Cap Go Meh.

Nabila Yusufa (@patjile) yang memainkan monolog kedua ini mampu menghidupkan tokoh nenek melalui logat Jawa Timuran dan gestur tubuhnya yang ringkih. Namun, tantangan berat muncul karena sudut pandang orang ketiga (yang ekstradiagesis) di cerpen harus diubah menjadi sudut pandang orang pertama (yang intradiagesis) di monolog, yaitu dari tokoh nenek. Perubahan ini justru berdampak menghilangkan kejutan di akhir cerita bahwa nenek itu sebenarnya sudah meninggal dan hanyalah foto di atas meja sembahyang. Padahal, di titik kejutan itulah kekuatan cerpen “Malam Kelima Belas” itu.

Saya kira, cerpen tersebut membutuhkan strategi alih-wahana yang lebih pas jika hendak dimonologkan. Asap dupa sebenarnya bisa dieksplorasi sebagai sarana untuk memperlihatkan perbatasan antara dunia roh dan dunia manusia sehingga kemungkinan atau ambiguitas bahwa tokoh nenek itu adalah manusia sekaligus roh tetap dapat diperlihatkan. Seperti halnya Niken yang bergelut dengan tantangan memainkan posisi antara subyek dan obyek dari tokoh Barbie, Nabila sebenarnya menghadapi kondisi yang sama meskipun dalam bentuk yang berbeda, yaitu harus memainkan “akting halimun” yang memadukan antara tubuh yang tampak dan tubuh yang menghilang. Pada titik ini Nabila mengalami kesulitan karena naskah monolognya tampaknya memang tidak memberikan jalan ke arah itu. 

Monolog ketiga, yaitu yang dialih-wahanakan dari cerpen “Gloomy Sunday”, dimainkan oleh Aldiansyah Azura (@lele.laki). Aldi mampu menghidupkan tokoh Angel dengan cukup memukau. Setelah patah hati karena ditinggalkan oleh kekasihnya yang akhirnya lebih memilih istrinya,  Angel mengalami gangguan mental. Dia berhalusinasi bahwa kepalanya pelan-pelan digerogoti oleh segerombolan semut api. Dari ceritanya, kita tahu pada akhirnya bahwa dengan lenyapnya kepalanya, lenyaplah pula kenangan terhadap kekasihnya. Begitulah mekanisme psikis Angel untuk bertahan dari rasa sakit akibat kehancuran cintanya.

Monolog ini bergerak menuju klimaks kematian Angel. Dalam menuju klimaks itu, Aldi mampu menjaga tempo permainan dengan memainkan adegan serangan halusinasi semut api secara bertahap dalam dinamika yang pas dan mampu menghadirkan suasana kengerian dalam kegilaan. Dalam cerpennya sendiri, klimaksnya sebenarnya berlangsung dengan cara yang ambigu dan implisit. Upaya Aldi untuk mempertegas klimaks ini dalam monolognya merupakan pilihan akting yang tepat.

Obyek yang Bersuara

Pada dasarnya tiga monolog yang sudah saya ulas di atas menampilkan manusia yang diobyektifikasi, tetapi dimungkinkan untuk bersuara melalui monolog. Dalam hal “Barbie”, obyek yang dimungkinkan untuk bersuara adalah boneka, dalam “Malam Kelima Belas” adalah orang mati/roh, sedangkan dalam “Gloomy Sunday” adalah orang gila. Dengan demikian, pengalih-wahanaan ketiga cerpen ini ke dalam medium monolog tentu menghadirkan tantangan akting yang menarik untuk digali lebih jauh, yaitu bagaimana caranya memindahkan tokoh naratif ke dalam tubuh dramatik yang menampilkan bolak-balik dari posisi subyek ke obyek. Tantangan inilah yang merupakan perbincangan dalam proses alih wahana (intermedialitas).

Namun, pada sisi lain, monolognya itu sendiri juga merupakan upaya memperbincangkan atau mendialogkan apa yang sulit atau yang tak mungkin terkatakan dalam modus dialog yang konvensional, yaitu posisi-posisi subyek yang terkekang, yang sudah terlanjur diobyektifikasi oleh wacana dominan tentang seksualitas, kematian/roh, dan kegilaan. Saya kira, ini persoalan rumit yang membutuhkan perbincangan lebih lanjut di luar tulisan ini. Salam.

Irsyad Ridho

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *