“Panta Rhei”, pekik Heraklitus, filsuf Yunani itu. Sejarah itu berulang, katanya. Dalam keberulangannya, sejarah bukan saja kerap memperlihatkan rantaian tragedi, namun juga selalu ditulis oleh pemenang, yakni negara dan tentara. Pada narasi sejarah yang dipilih itu, selalu ada yang tidak masuk hitungan; yang disingkirkan. Mereka adalah pihak-pihak yang bukan saja dianggap tidak penting; melainkan dalam penulisan sejarah acapkali dilekatkan dengan pelbagai stereotip: jahat, culas, brengsek, bahkan keji. Merekalah orang-orang yang ditulis kalah dalam sejarah.
Historiografi sejarah kita selama ini didominasi oleh narasi militerisme dan politik perebutan kekuasaan. Tentu saja ada upaya-upaya yang menawarkan sejarah dalam perspektif berbeda dalam buku teks. Misalnya tulisan jurnalisme sastrawi Linda Christanty, berjudul Hikayat Kebo di majalah Pantau. Linda secara menarik menjadikan Kebo untuk merekam sebuah titik penting dalam sejarah, yakni mencuatnya kekerasan massa di Jakarta pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Dalam tulisan itu—maupun cerpen-cerpen Linda—kita dapat membacanya sebagai upaya Linda untuk menyatakan bahwa sejarah nasional dan resmi tidak akan bermakna apabila tanpa sejarah lokal atau sejarah keluarga.
Dalam karya sastra, seringkali sudut pandang dalam cerita sejarah kurang lebih masih dilihat dengan cara yang sama, dibayangkan sebagai konflik antara elit. Sementara orang-orang biasa hanya menjadi figuran. Sastra masih berkisah tentang elit. Novel Bumi Manusia mungkin mencoba untuk melihat sejarah Indonesia dengan cara berbeda. Sejarah kolonialisme tidak hanya dilihat dari konflik, perang, dan kekerasan. Tetapi misalnya kolonialisme dilihat dari sudut pandang bahasa, revolusi industri, mesin cetak, dan pers. Walau tokoh-tokoh utamanya yang relatif masih elit. Misalnya Minke adalah anak bupati, dan punya privilage untuk sekolah di HBS. Tokoh penting lainnya, Nyai Ontosoroh juga seorang gundik yang “naik kelas” sebagai pengusaha, dan meski secara otodidak, menjadi sesorang yang relatif terpelajar.
Sebenarnya, ada banyak yang bisa diceritakan dari orang-orang biasa. Dan ketika kita mencoba untuk meletakkan karya sastra sebagai “sejarah alternatif”, barangkali kita dapat membayangkan, misalnya, sejarah tentang keluarga menjadi sama pentingnya dengan sejarah para tokoh dan pahlawan yang termuat dalam buku teks sekolah. Kita butuh alternatif untuk memberi sudut pandang. Bukan upaya membenarkan sejarah. Melainkan seberapa banyak kita memiliki alternatif untuk melihat cerita yang sama, dengan cara yang berbeda. Masalah yang sama, dari sudut orang lain. Memahami situasi dengan cara pandang yang luas. Dan novel Balada Supri dapat dibaca dengan titik tolak semacam ini.
Di sisi lain, ketika kita membaca sebuah karya sastra, terkadang ada kecenderungan kita terlalu berusaha menghubungkannya dengan karya-karya lain, penulis lain—terutama penulis dunia, yang karyanya telah mendapatkan pengakuan luas. Bukannya tidak perlu, barangkali itu menjadi penting sebagai petualangan “peta kesusastraan”. Bahwa karya ini dan itu adalah bagian dari jejaring peta tak tertangguhkan, bahwa sebuah karya mengingatkan kita dengan karya-karya kanon.
Bagi kita pembaca, barangkali itu menjadi petualangan yang begitu mengasyikkan. Misalnya, seperti merasa menemukan Gabriel García Márquez ketika membaca Cantik itu Luka, Eka Kurniawan. Dan sementara itu menemukan Juan Ruflo atau Franz Kafka dalam Seratus Tahun Kesunyian, Márquez. Jalur peta kesusastraan itu mungkin akan membawa kita terus ke belakang, dan berujung pada karya-karya kanon klasik seperti Don Quixote, Miguel De Cervantes. Tetapi, kalau dipikirkan lagi, bukankah itu menjadi sesuatu hal yang teramat lumrah, dan tidak hanya dalam karya sastra, tetapi juga buku-buku lain, misalnya filsafat dan sains.
Sekali lagi, petualangan memetakan sastra menawarkan pengalaman yang mengasyikkan bagi pembaca, dan barangkali sebagai kajian akademik, atau laboratorium belajar menulis. Tetapi tentu saja kita dapat menikmati sebuah cerita, tanpa harus selalu berusaha untuk menghubungkannya dengan karya-karya kanon sebelumnya, dan tidak akan mengurangi kualitas dan keasyikan dari karya itu sendiri. Kita dapat menjadi seorang pembaca lugu, yang ketika membaca Cantik itu Luka, dan tidak pernah membaca Márquez sebelumnya, tetapi tetap dapat begitu berasa luar biasa ketika membacanya.
Lagi pula, tidak ada yang benar-benar baru di dunia ini, terlebih dalam sastra. Karya A mengambil sebagian dari karya B dan karya C, lalu diikat oleh karya D. Kita dapat melihatnya sebagai kewajaran belaka. Setiap cerita, pada akhirnya, akan berbicara sebagai “dirinya sendiri”, bukan sebagai corong karya lain, bahkan penulisnya sendiri. Dan saya kira, dengan cara itu pula kita dapat membaca dan menikmati cerita dalam novel Balada Supri ini.
Balada Supri adalah sebuah cerita keluarga. Mochamad Nasrullah dengan sangat apik menuturkan sejarah keluarga ternyata tidak hanya mengungkapkan dari mana kita berasal dan berakar, tetapi memperlihatkan bagaimana kekuatan dari luar rumah kita membentuk, menyatukan, bahkan memisahkan individu-individu di dalamnya. Kisah keluarga empat generasi itu berkelindan dengan peristiwa-peristiwa di masa lalu.
Muhammad Khambali,
Mengajar dan menulis. Lebih banyak tidur.