Konser album Pesan dari grup musik Kabar Burung pada 21 Desember 2019 yang lalu dimulai dengan suara glokenspil, violin, dan keyboard sebagai pemangku bunyi pertama pada lagu “Telepon”. Frekuensi violin sedikit lebih tinggi dari instrumen lain. Pada lagu kedua, warna suara piano terlalu tajam. Meski balance cukup baik, drum tidak bisa mempertahankan tempo dari awal sampai akhir lagu. Sustain bas kurang terasa, terlalu stacato. Apakah ini dimaksudkan agar sejalan dengan tema lagu kedua itu, yaitu “Cemas”? Entahlah. Sebelumnya, penonton disuguhi video musik Pesan sebagai menu pembuka konser ini. Dengan mengambil gaya visual pascamodern, video musik ini memberikan aura unik pada pembukaan konser meskipun terasa cukup singkat dan kurang mengigit.
Lagu berikutnya, “Kamu Rahasia”, cukup menyemangati ruang konser di Auditorium IFI (Institut Français Indonesia) malam itu. Namun, drum kurang bisa menjaga tempo dengan baik dari intro ke masuknya lirik. Pengaturan napas vokalis yang kurang cermat sedikit mengganggu pengucapan lagu. Untungnya, stik brass cukup memberikan warna misterius tentang kerahasiaan yang merupakan tema lagu ini.

Setelah istirahat sebentar dalam waktu jeda—yang sebenarnya cukup unik dalam konser musik pop—sesi berikutnya dibuka dengan kehadiran penambahan instrumen tiup kayu (flute, clarinet) dan cello sebagai strategi variasi bunyi yang cukup efektif. Nuansa masa kecil merebak dengan hadirnya rekorder pada lagu “Hujan” meski sedikit tidak tuning. Untungnya, warna choir yang kerap hadir sebagai ciri khas Kabar Burung dapat menutupi kekurangan kecil itu. Lagu “Hujan” memang kental dengan lompatan interval, melodi, bahkan instrumen.
Suasana panggung makin menghangat dengan hadirnya lagu “Adinda” yang kuat sekali dengan gaya rock blues melalui ritmik gitarnya. Groove antara drum dan bas terjalin dengan baik dalam karya ini. Kekayaan progresi chord dan sistem harmoni yang efektif memberikan warna tersendiri pada keseluruhan album perdana Kabar Burung ini. Apalagi kehadiran tutti (bermain bersama) dalam nada dan ritmik pada akhir karya “Adinda” menjadikan lagu ini memang membawa angin segar.
Setelah dibawa dalam kehangatan lagu “Adinda”, penonton malam itu kemudian dibawa ke dalam perenungan tentang waktu dalam karya lagu “Waktu, Kita, Rasa”. Lirik lagu ini sangat kuat menghadirkan tema percintaan yang memang biasa dalam musik pop, tetapi dipadu dengan perenungan puitis tentang waktu, hubungan manusiawi, dan perasaan. Lirik lagu ini mampu memperkuat energi musik yang ditawarkan dalam format mini-chambers sehingga terasa seperti membawa bentuk petualangan baru antara kata dan bunyi, seperti halnya sebuah pertualangan dalam waktu antara dulu, kini, dan akan datang.
Karya penutup konser ini, yaitu “Bersua Denganmu”, dimulai dengan intro yang cukup baik dan gradasi dinamik yang cukup terasa. Duet piano dan glokenspil terdengar menarik di pertengahan lagu meskipun sebenarnya akan lebih menarik jika pianonya 1 oktav di bawah. Pizicato cello memberikan kejutan dalam pilihan lagu pamungkas ini sehingga mampu memberikan efek klimaks yang pas bagi konser Kabar Burung pada malam yang membahagiakan itu.
Kabar Burung memang menawarkan sebuah interaksi hangat di ruang yang akrab. Keakraban itu makin terasa ketika penonton meminta satu lagu lagi. Mereka seperti tahu sama tahu saja bahwa meskipun lagu yang diminta itu tidak ada dalam album perdana Kabar Burung, tetapi akan terasa kurang lengkap jika tidak dimainkan. Maka, malam itu penontonpun ikut menyanyikan lagu super-pamungkas mereka, yaitu “Telah Satu”, yang merupakan musikalisasi puisi WS Rendra.
Band Pembuka
Konser Kabar Burung malam itu didahului oleh kehadiran Rangkai sebagai band pembuka. Dengan menggunakan instrumen tradisional gender dan gitar, band duo ini menawarkan konsep dan warna musik yang cukup menarik. Karakter suara bariton dari vokalis Bimo Putra yang cukup kuat, penggunaan delay pada instrumen gitar dengan gaya petikan yang cukup khas, dan gerak spiral yang mengisi visual di layar belakang sejalan dengan bentuk karya mereka yang berjenis rondo (musik Barat) pada karya lagu pertama mereka yang berjudul “Kering dan Palsu”. Lagu kedua, “Seberang Fana”, menawarkan tema lirik tentang arwah yang rindu akan kehidupan. Sangat disayangkan, tone gitar antara senar lepas dan ditekan sangat berbeda dimensinya. Seharusnya itu menjadi hal yang menarik seperti kehadiran instrumen gender di tengah lagu yang memberikan nuansa misterius.
Dua lagu Rangkai selanjutnya mencoba mengungkapkan kritik sosial. Lagu “Cukup Denganmu” mengkritik perselingkuhan dalam hubungan asmara. Pesan lagu ini cukup jelas, yaitu mengajak kita untuk lebih banyak bersyukur dan setia pada pasangan. Lagu terakhir mencoba mengkritik perusakan alam. Penonton diajak untuk menyanyi bersama untuk merasakan “geramnya bumi memekik, murkanya jelas di langit”. Konsep kliningan musik tradisi sangat terasa di sini, juga disonan bunyi merupakan kekhasan pada karya ini. Cukup beralasan jika kita menunggu karya Rangkai yang lain di tahun mendatang.
Hery Budiawan
(Dosen Seni Musik Universitas Negeri Jakarta)