Eksekusi dari Sudut Sempit

“Suatu negara telah mencapai peradabannya secara maksimal jika pertandingan sepak bola dapat terlaksana tanpa wasit” -José Luis Coll (aktor dan penulis Spanyol)

Sebuah anekdot yang subtil. Di zaman Victorian, wasit tidaklah diperlukan karena sepak bola pada dasarnya dibuat berdasarkan gentleman’s agreement. Sebuah peristiwa yang sebelumnya dikenang dengan berbagai sudut: hiburan populer dari pelatihan militer, mitos, dan pertaruhan merebutkan kesenangan duniawi.

Buku Mengapa Sebelas Lawan Sebelas? terbit pertama kali pada tahun 2017 di Kolombia. Luciano Wernicke, penulis olahraga kenamaan Argentina dengan cermat melakukan riset dari berbagai sudut yang jarang kita ketahui. Saya tentu saja sebelumnya tidak tahu bahwa kata “gol” berasal dari puisi William de Shoreham (penyair Inggris). Kata tersebut berasal dari istilah inggris kuno, yaitu “gal” yang bermakna “batas” atau “sasaran”. Pertanyaan-pertanyaan lain muncul di dalam buku ini. Ada 100 topik tematik yang dibahas. Misalnya, saya langsung iseng saja untuk menjawab pertanyaan di blurb belakang buku terbitan Majin Kiri.

Mengapa tim sepak bola beranggotakan sebelas pemain? Karena penghuni asrama di sebuah sekolah berjumlah sebelas murid, atau juga sepuluh murid ditambah satu guru. Siapa penyusun aturannya?Hingga 1863, para siswa di Inggris menyusun draf peraturan permainan.  Mereka (atau siswa-siswa) yang telah mengalami sebelas lawan sebelas kemudian menjadi pemimpin Asosiasi Sepakbola Inggris (FA). Para alumni menggencarkan aturan sebelas lawan sebelas, karena pada awalnya organik namun setelahnya mereka menganalisa bahwa hal tersebut ideal. Dilihat dari sistem pertahanan, kreativitas dan penyerangan.

Sejak kapan ada wasit? Sejak taruhan memenangkan segentong minuman keras menjadi tujuan bermain sepak bola. Dan sejak kapan wasit memakai peluit? Sejak sarung tangan tidak berfaedah lagi untuk menarik perhatian kala pertandingan berlangsung, dan sejak peluit menjadi alat yang efektif untuk satuan keamanan di Inggris.

Siapa penemu adu penalti? Seorang wasit asal Jerman, Karl Wald, karena ia resah dengan kemenangan Italia atas Uni Soviet di semifinal Piala Eropa 1968. Samakah dengan penemu kartu merah? Tentu saja tidak. Ken Aston mendapat inspirasi kartu kuning dan merah dari perselisihan yang terjadi di perempat final Piala Dunia Inggris 1966 dan saat ia melihat lampu lalu lintas selepas pertandingan. Siapa wasit yang mengartu merah dirinya sendiri? Melvin Sylvester, karena tak tahan keputusannya diprotes terus dan tubuhnya didorong oleh salah satu pemain. Akibat perisiwa itu ia menonjok salah satu pemain dan ia mengartu merah dirinya sendiri.

Sepakbola selalu memiliki banyak celah untuk diceritakan. Dari yang penuh harapan hingga soal dilema kehidupan. Lihat bagaimana tim nasional Jepang dapat bangkit setelah Captain Tsubasa hadir lewat impian dan propagandanya yang sublim. Atau bagaimana Nick Hornby bercerita lugas soal Arsenal dan juga kisah asmaranya di memoar Fever Pitch. Begitu pula misal kita membahas sepak bola dari ranah fiksi.

Setelah saya amati, formula cerita (fiksi) sepakbola bila dibuat daftar sebagai premis maka seperti ini bentuknya: 1) seorang pemain sepakbola amatir yang memiliki banyak kekurangan (entah kondisi ekonomi atau cedera menahun) bercita-cita untuk sukses menjadi pesepakbola profesional, 2) sebuah tim medioker dengan segala deritanya berusaha bangkit dan masuk divisi teratas suatu liga, 3) soal dilema, memilih dua hal yang paling dicinta: kekasih (cinta) atau sepakbola, 4) riwayat kehidupan legenda sepakbola (mulai suporter sampai pelatih) dari lahir, meniti karier sampai berprestasi, dan 5) memaparkan ideologi/agenda politik tertentu lewat budaya populer bernama sepakbola.

Daftar tersebut bisa lebih panjang lagi bila kita memotretnya dari perspektif Indonesia atau negara-negara yang sedang membenahi sistem sepakbolanya. Bisa saja ditambahkan: seorang pemain yang sedang sakit lalu meninggal dunia karena gajinya tidak dibayar oleh klub, atau yang kerap berulang di Indonesia: pemain dan klub yang memiliki kelemahan dalam finansial, disusupi saudagar kaya untuk mengatur hasil akhir pertandingan.

Sementara bila kita melihat dari nonfiksi, historitas, dan serba-serbi unik lainnya, buku Mengapa Sebelas Lawan Sebelas? tentu buku yang menyenangkan untuk melengkapi Memahami Dunia Lewat Sepak Bola milik Franklin Foer. Sudut sempit bernama akar dan sejarah, adalah kemewahan yang diidamkan pecinta bola baik amatir maupun yang mengkhususkan diri sebagai pandit.

Seperti sudut sempit lainnya: ketika pemain mencetak gol dari sudut sempit, maka keindahan dan karya seni melabeli gol tersebut. Sepakbola bagi saya pribadi adalah puisi yang lain. Ia bisa berupa banalitas karena hanya berpusat pada keindahan gol semata (objektifikasi) atau diskursus yang menarik bila melihatnya dari teropong lain, misal kajian budaya dan sosio-politik. Sepak bola bisa menjadi alat untuk pemersatu (nasionalisme semu?) bila semua sepakat dengan kutipan di awal paragraf—utopia—atau menjadi “propaganda yang lain” seperti baris di bawah ini:

“Jika sepuluh ribu bola disebarkan ke seluruh baris depan dan para prajurit diizinkan bermain, bukankah itu menjadi solusi yang menyenangkan, perang tanpa pertempuran darah?” pertanyaan prajurit veteran kepada marsekal first british army, 1918.

Galeh Pramudianto, 2019

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *