Acara di Atelir Ceremai kerap terselenggara secara mendadak. Ini merupakan salah satu sifat tempat ini sebagai ruang kolektif. Ketika seorang seniman kebetulan mampir dan setelah ngobrol ke sana-ke mari, dia akan langsung ditodong untuk mengisi acara. Itulah pula yang terjadi pada seniman yang satu ini: M. Haryo Hutomo.
Dalam diskusi santai pada Minggu sore, 21 Januari 2019, dia membagi cerita pengalaman kreatifnya beberapa tahun belakangan selama mengikuti residensi seni rupa di beberapa negara, seperti China, Jepang, Israel, Azerbaijan, dan Australia.

“Lu eplai-eplai (=apply to) aja. Sekarang banyak kok lembaga kesenian atau kebudayaan di luar negeri yang membuka program bagi para seniman untuk berkarya. Kayaknya sekarang kita gak perlu terlalu tergantung pada lembaga-lembaga kesenian yang mainstream. Bahkan, portofolio gue juga ‘kan gak banyak-banyak amat, yang penting lu punya ide mau ngapain dan ide lu itu relevan dengan program yang lagi ditawarkan,” begitu kira-kira Haryo, yang biasa juga dipanggil Tomo, meringkaskan pengalamannya.
Salah satu ide menarik yang pernah dikembangkan oleh Haryo sebagai karya seni rupa, tepatnya seni terapan, adalah dengan mengeksplorasi peristiwa sejarah di suatu tempat, kemudian dia menampilkannya melalui karya seni yang seakan-akan menggambarkan bahwa itu merupakan peristiwa sejarah yang real, padahal sebenarnya itu hanya fiktif.
“Gue pernah mengembangkan ide ini di Azerbaijan dan ada pegunjung yang agak marah, nunjuk-nunjuk gue, dan mengatakan bahwa gue sebagai orang asing gak pantas menggambarkan peristiwa sejarah tersebut. Gue kemudian bilang bahwa itu hanya peristiwa bohong-bohongan aja. Karena ini merupakan karya seni, orang biasanya kemudian mengerti dan memakluminya. Tapi, gue sengaja memang untuk sedikit mengganggu pandangan atau pengetahuan sejarah yang mainstream dengan menampilkan peristiwa bohong-bohongan seperti itu.”
Selama satu jam lebih, Haryo alias Tomo kemudian menceritakan pengalaman kreatifnya yang lain. Pelan-pelan suasana menjadi agak serius sampai moderator acara, Hamzah, memecahnya dengan pertanyaan ringan.
“Biasanya kan ada hambatan bahasa Inggris, Mo. Gimana lu mengatasi ini?” tanya Hamzah, moderator diskusi, memancing obrolan selanjutnya.

“Ah, apa sih yang susah zaman sekarang. Lu tinggal belajar di Google Academy atau YouTube Institute lah. Bahasa Inggris gue juga gak bagus-bagus amat kok,” sahut Tomo sigap sambil tertawa.
Selanjutnya, obrolan berlangsung lebih hangat melalui pertanyaan-pertanyaan dari para peserta diskusi. Semoga cerita Haryo sore itu berhasil memancing inisiatif para seniman lain yang lebih muda untuk melanglang buana ke negeri orang dan memberi kontribusi bagi pertemuan kesenian dan kebudayaan di dunia. Bukankah HB Jassin pernah menyatakan bahwa sastra (=seni) Indonesia adalah warga sastra (=seni) dunia?
Irsyad Ridho