Sore Rabu. Terik tak lagi sepanas seperti sebelumnya. Satu per satu pengunjung datang. kursi sudah disusun berbaris-baris menghadap dua kursi. Memang dua kursi itu diisi oleh pemantik dan pembicara beberapa menit sudah. Sambil menunggu kursi yang lain terisi, pemantik dan pembicara terus ngobrol berdua. Sampai-sampai orang yang baru datang mengira bahwa diskusi sudah mulai sedari tadi.
Memang, sore Rabu, 18 September 2019, dewan kurator sastra Atelir Ceremai bikin acara lagi yang kali ini membicarakan Cergam Medan. Irsyad Ridho, dosen kesayangan para mahasiswa dan katanya keren itu, dengan suara beratnya menjadi pemantik. Lalu, lawan bicaranya kali ini pecinta dan kolektor cergam. Bisik-bisik tetangga, Henry Ismono juga yang menuliskan biografi mendiang Hasmi, kreator Gundala Putera Petir yang saat ini sedang diomongin banyak orang.
Cerita bergambar bukanlah bahasa pengganti komik, begitu kata Henry Ismono. Walaupun membedakan definisi cerita bergambar dan komik sulit dijelaskan. Ada yang beranggapan bahwa gambar tidak boleh terganggu oleh teks, namun ada juga yang beranggapan bahwa gambar dan teks menjadi satu komposisi. Itu pendapat dan pilihan yang bebas.
Medan menjadi lumbung kreator cergam. Henry bilang, semangat berkarya di Medan dipengaruhi oleh para komikus Bandung. Lalu, ketika di daerah Jawa sedang meredup, para kreator Medan tetap terus produktif menghasilkan karya. Medan tidak terpengaruh dengan merusutnya semangat para komikus dari pulau Jawa. Pada masa itu, permintaan tinggi dari penerbit dan kesadaran kreator membuat karya yang berkualitas. Barangkali, menurutnya, yang menjadi kelebihan cergam Medan adalah kemampuan para komikus Medan dalam mengeksplorasi kekayaan lokal. Juga, dia mengatakan kualitas cergam Medan tidak perlu diragukan, karena sebelum menjadi sebuah buku, cergam-cergam dimuat terlebih dahulu di koran.
Ngobrol yang sambil ketawa-ketawa itu, Henry menyebutkan kalau cergam Medan memiliki keunikan sendiri. Para komikus Medan membuat istilah cergam sastra. Bukan hanya gambar yang berkualitas, kemampuan komikus dalam mengeksplorasi teks tentu menjadi perhitungan yang tak tanggung-tanggung. Jadi teks bukan hanya sekadar pengindahan gambar, dan gambar bukan sebagai pelengkap teks.Kemampuan komikus dalam mengolah cergam sastra tidaklah sembarang tulis. Cergam yang mereka ciptakan merupakan bentuk identitas atau jati diri budaya mereka, lebih jauh pemaknaannya.
Henry menunjukkan koleksi cergam yang dia keluarkan dari tas besarnya, sambil mengatakan, “Barangkali, kelemahan cergam sastra ini adalah statis, bentuknya yang kotak-kotak saja sepanjang cerita.”
Menjelang Magrib, dewan kurator sastra M. Putera Sukindar selaku moderator menutup ngobrol ringan, barangkali akal-akalannya saja karena bibir sudah asem mau sebat.