Nampaknya seluruh wilayah di Indonesia menolak keras dengan revisi RUU yang dinilai kontroversial itu rencananya akan disahkan oleh DPR tersebut. Para mahasiswa seluruh Indonesia mengecam tindakan ini dan melakukan aksi di Senayan. Media sosial penuh dengan foto, video, dan tulisan yang menggambarkan betapa negara ini sedang mengalami sakit yang amat parah serta akal sehat yang kacau. Menghujat adalah gaya tutur yang sudah kepalang ramai berseliweran di media. Kantor DPR menjadi sasaran oleh ribuan mahasiswa dari kampus-kampus yang berada di Jakarta dan sekitar untuk menyampaikan aspirasi mereka. Aspirasi masyarakat yang diwakili oleh para mahasiswa yang turun ke jalan mendapat tindakan yang tidak menyenangkan oleh aparat kepolisian. Orang yang tidak setuju dengan RUU yang terbilang terlalu berlebihan hingga masuk ke ranah privasi itu masing-masing mengambil peran.
Aksi besar yang terjadi pada Selasa, 24 Oktober 2019 memunculkan simpati bagi masyarakat yang tidak ikut turun ke jalan. Perjuangan dan semangat muda mereka dipandang mewakili aspirasi masyarakat lain. Tulisan pada selembar karton menarik perhatian netizen, kreatifitas kritik terasa lembut dan nyelekit, memperlihatkan betapa DPR menjadi objek yang asik. Yel-yel dan lagu pergerakan berdengung di mana-mana. Namun, banyak di antara mereka yang harus dibantu medis, kepala bocor, dan tidak berdaya. Keadaan itu memunculkan simpati oleh masyarakat. Hal ini juga direspon oleh Atelir Ceremai melalui tim kurator seni rupa yang dikendarai oleh Pacil. Tepat sehari setelah aksi tersebut, pada Rabu malam, Pacil kembali membagikan kertas beserta alat gambar.
Sebenarnya Pacil bingung apa tema yang tepat untuk Rabu gambar edisi ketiga. Melihat keadaan sekarang yang ramai terdengar dan membicarakan DPR baik ditongkrongan maupun media, daripada bingung lebih baik mengekspresikan apa yang mereka rasakan terhadap DPR tentu asik. Tema yang diangkat pada Rabu gambar edisi ketiga ini, yaitu Memodifikasi Gedung DPR. Ketika tema itu sampai di pikiran para ateliran, mereka masing-masing berimajinasi apa yang bisa dilakukan terhadap gedung DPR itu. Seperti biasanya, ada yang langsung menggambar, ada yang menunggu seberapa waktu, dan ada yang berpikir lama.
Satu per satu para ateliran mengumpulkan ke muka meja yang sedang diduduki Pacil, berbagai bentuk visual yang dihadirkan dalam satu kertas HVS putih polos menunjukkan ekspresi setiap ateliran menanggapi apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini. Barangkali kurang puas dengan gambarnya, para ateliran memuat tulisan-tulisan yang ucul di sekitar gambar tersebut. Setelah dilihat-lihat, Pacil bilang ternyata para ateliran yang mendadak menjadi arsitektur untuk memodifikasi gedung DPR itu memiliki emosi yang sama. Para ateliran marah, juga kecawa dan yang jelas sebal dengan apa yang terjadi di dalam gedung DPR tersebut.
Ekspresi tersebut menjadi satu dan bersuara lewat gambar menjadi alternatif yang dapat menunjukkan perasaan secara estetis kepada mereka yang mendengarkan. Eh, didengarkan atau tidak ya.
O, ya, tulisan ini jangan disebar ya. Takut yang nulis bakal diciduk!