Sebagai bagian dari proses penandaan (semiosis), sebuah karya musik atau lagu hadir untuk meminta penafsiran dari para pendengarnya. Tulisan ini merupakan upaya penafsiran itu, sekaligus sebagai sambutan hangat atas dirilisnya album perdana Kabar Burung yang bertajuk Pesan yang secara resmi diluncurkan dalam konser album mereka di Auditorium IFI (Institut Français Indonesia) pada tanggal 21 Desember 2019 yang lalu. Dalam tulisan ini, saya hanya menafsirkan satu lagu dalam album itu, yaitu “Cemas”, demi memancing perbincangan selanjutnya.
***
Lagu “Cemas” dibuka dengan menggunakan harmoni lagu anak-anak di era awal Orde Baru, di masa ketika Suami-istri Soerjono-Sandiah/Pak dan Bu Kasur (Taman Indria) dan Pranadjaja (Bina Vokalia) membentuk soundscape yang sentralistik melalui RRI dan TVRI bagi kemunculan kelas menengah baru di era ‘70- dan ‘80-an. Bait pertama dan kedua liriknya menggambarkan perasaan cinta sejati dengan cara yang sangat polos, yaitu melalui pertentangan simbol abstrak dari asmara romantik (cinta, kesetiaan, nada, lirik) dengan simbol material kekayaan (intan berlian, bunga mawar). Ini bait pertamanya:
Jika intan berlian yang engkau inginkan
maaf aku tak bisa berikan
karena yang aku punya
hanyalah cinta dan kesetiaan.
Menempatkan pola lirik semacam ini dalam birama lagu anak-anak era Orba awal itu benar-benar membuat bait awal lagu ini menangkap langsung semangat zaman di era itu, yaitu harapan mobilitas sosial yang menawarkan harmoni hidup sederhana, seperti kompleks perumahan kelas menengah yang luas tapi sederhana, dengan taman mungil di pekarangan, taman bermain yang asri, nyaman, dan aman untuk anak-anak yang sedang bermain ayunan, lompat tali, dan sepeda. Semua gambaran harmoni, kesederhanaan, dan kenyamanan hidup kelas menengah itu sudah lama tergambar dalam lagu anak-anak pada era itu, seperti “Lihat Kebunku”, “Ambilkan Bulan Bu”, “Nina Bobo”, “Sayang Semuanya”, dan lain-lain. Kabar Burung tampaknya sengaja memulai lagu “Cemas” ini dengan nuansa kepolosan dan kesederhanaan itu. Di titik inilah letak gaya retronya. Mereka membawa kita (terutama generasi saya) ke masa kecil, ke dalam perasaan nostalgia ketika gelegar suara Sukarno sudah menghilang dan kilatan kebisingan radiasi smartphone belum lagi diciptakan. Pada era itulah mobilitas sosial ke kelas menengah baru yang sederhana membutuhkan citra asmara yang sejati, yaitu kesetiaan dan bukan intan berlian.
Namun, sesuatu yang sangat mengejutkan terjadi di bagian refrainnya. Ada semacam nuansa musik rock progresif yang menyelusup dan langsung mengubah struktur silabi liriknya yang mulanya bermetrum pantun kemudian menjadi larik panjang dalam refrain yang membuatnya bersifat seperti larik puisi bebas. Teknik larik seperti ini merupakan teknik legendaris yang sudah lama digunakan dalam perpuisian Indonesia, yaitu ketika Chairil Anwar memanfaatkan gaya puisi Amir Hamzah yang masih sangat dipengaruhi pantun tradisional itu dan mengubahnya menjadi lebih bergaya modern. Sebagai contoh saja, kita bisa mengingat lagi puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” yang terkenal itu.
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Bait puisi Chairil ini tampaknya seperti meniru metrum pantun, tetapi sebenarnya dia membangun lirik kalimat tidak dalam kebiasaan struktur pantun, yaitu dengan memperpanjang gatra keterangan tempat: “di antara gudang, rumah tua, pada cerita//tiang serta temali”. Namun, untuk mempertahankan keutuhan metrum pada baris kedua agar tetap meniru rima pantun, Chairil bahkan memotong gatra keterangan tempat ini dan memindahkan frase “tiang serta temali” ke baris ketiga. Dalam metrum pantun yang tradisional, teknik ini sama sekali tidak dikenal. Teknik ini kemudian dieksplorasi lebih jauh oleh Goenawan Mohammad dan Sapardi Djoko Damono dalam puisi-puisi mereka.
Meskipun demikian, metrum pantun tradisional itu masih membentuk bawah sadar para pengguna bahasa Indonesia karena di situlah terletak asal-usul irama bahasanya. Saya kira, rasa irama pantun itu yang kemudian tetap bertahan dalam lirik musik pop Indonesia. Tidak terkecuali Kabar Burung. Dua bait dalam lirik lagu “Cemas” yang dibahas di sini telah memperlihatkan hal itu. Namun, perubahan metrum pada bait refrainnya mau tidak mau membawa struktur lirik lagu ini keluar dari ketaksadaran irama pantun itu. Ini bait refrainnya:
Tak perlu kau cemas kesetiaan janjiku kepadamu
kan kujaga hingga akhir perjalanan cintaku kepadamu
tak perlu kau tanya kesetiaan janjiku kepadamu
kau dapat menguji hingga akhir waktu kapan pun engkau mau.
Empat larik dalam bait refrain ini sudah terlalu panjang untuk dikatakan termasuk dalam metrum pantun. Ia membentuk kaidah metrumnya sendiri yang justru ditentukan oleh perpindahan dari nuansa musik anak-anak ke komposisi musik yang terasa agak prog-rock, seperti yang saya sudah singgung di atas. Namun, di mana letak prog-rocknya?
Acuan prog-rock yang saya maksud di sini bersifat sangat terbatas, hanya terkait dengan gejala awal prog-rock, yaitu yang secara khusus banyak diidentifikasi oleh para ahli musik pop sebagai bermula dari album Beatles yang bertajuk Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (1967). Untuk menjelaskan keterkaitan ini, saya akan mengambil perbandingan dengan hanya salah satu lagu dalam album Beatles itu, yaitu “Lucy in the Sky with Diamonds”. Seperti halnya “Cemas”, lagu Beatles ini dimulai dengan asosiasi ke dunia anak-anak yang secara khusus diilhami oleh novel Alice in Wonderland yangsudah menjadi acuan kultural yang penting dalam sastra Inggris, termasuk sastra anak-anak. Lennon mengatakan bahwa lagu ini diilhami oleh lukisan anaknya, Julian, dan kemudian dia perluas asosiasinya ke novel klasik tersebut.
Meski mengambil asosiasi ke dunia anak-anak, kedua lagu ini tentu punya acuan kultural yang berbeda karena berasal dari dua konteks sosial-historis yang juga berbeda. Di awal tulisan ini, saya mencoba menafsirkan bahwa acuan kultural bait awal lagu “Cemas” adalah lagu anak-anak di era awal Orde Baru. Pertanyaannya, jika terjadi perpindahan dari dunia anak-anak Orba di awal bait ke refrain, maka ke mana lagu ini membawa kita pindah? Maksud saya, ke dalam gambaran dunia seperti apa?
Dari segi lirik, saya sudah memperlihatkan bahwa kita diajak pindah dari ketaksadaran metrum pantun ke metrum puisi bebas. Karena secara musikal perpindahan metrum lirik itu juga diiringi oleh perubahan ketukan (beat) yang bernuansa rock, saya pikir cukup beralasan jika ditafsirkan bahwa refrain lagu ini seolah membawa kita ke dunia dewasa, tidak lagi di dunia anak-anak. Yang relevan dengan lagu Beatles itu adalah teknik musikal yang digunakan untuk menandai perpindahan itu, yaitu apa yang disebut suara khayal (khyal sound) yang nantinya memberikan roh psikedelik pada prog-rock. Teknik ini diperkenalkan oleh George Harrison ketika dia menimpali suara Lennon yang dibuat berefek gema di bait kedua lagu tersebut dengan suara dari instrumen khas India (sarangi) sehingga bait itu seolah menampilkan dunia khayal yang memindahkan dunia anak-anak di bait pertama ke refrain yang sudah pindah ke ketukan musik rock. Lagu “Cemas” ternyata menggunakan teknik serupa meski tanpa instrumen sarangi, tetapi hanya dengan efek gema ketika Kibar menyanyikan potongan lirik “Jika intan berlian”. Meski minimal, teknik suara khayal ini tentu sangat disadari sebagai jembatan perantara dua dunia: dari dunia anak-anak a la Ibu Kasur ke dunia dewasa a la prog-rock Sgt. Pepper’s, pada satu sisi, dan dari dunia pantun ke dunia puisi bebas, pada sisi lain. Maka, lagu ini sebenarnya menawarkan strategi retro yang cukup rumit yang dapat mengarah kepada refleksi atas proses retro itu sendiri.
Karena itu, mungkinkah kita justru bisa menyebutnya sebagai pasca-retro (post-retro)?
Irsyad Ridho