Azzam Fi Rullah dan Filmnya: Sebuah Absurditas

Bagi kebanyakan orang, bulan Oktober merupakan ‘bulan seram’. Sebagai kurator film Atelir Ceremai, momen menarik seperti ini membuat saya berinisiasi untuk memutarkan film horor di bioskop kesayangan ateliran. Tetapi yang diputar bukan film horor seperti biasa, ini adalah film horor kelas B.

Film kelas B ini dipersembahkan Azzam Fi Rullah dari Kolong Sinema. Bagi yang asing dengan namanya, Azzam adalah sutradara film kelas B kenamaan bagi komunitas film, khususnya di Jakarta dan Jogja. Azzam sudah mengantongi enam film, di antaranya Pendakian Birahi (2017), Pocong Hiu Unleashed (2017), Azabku Azabmu (2018), Goyang Kubur Mandi Darah (2018), Kuntilanak Pecah Ketuban (2018), dan Rangsangan Gaib (2019). Ia melabeli dirinya sebagai “A true trashy and violent horror movie addict”. Sineas muda ini membawakan empat film andalannya, yaitu Rangsangan Ghaib, Goyang Kubur Mandi Darah, Azabku Azabmu, dan ditutup dengan Kuntilanak Pecah Ketuban.

Malam Minggu, 26 Oktober 2019. Kami berbincang-bincang mengenai filmnya tersebut. Azzam bercerita kalau film-filmnya terinspirasi ketika masih kecil. Ia dulu sering menonton stasiun TV yang memutar film ‘kacangan’. Dari judulnya mungkin kebanyakan dari kalian sudah tahu seperti apa filmnya. Bagi kalian yang tidak tahu, era tahun 2000-an stasiun TV di Indonesia banyak menyiarkan film religius yang dibalut penuh dengan azab tidak masuk akal dan horor esek-esek. Dia banyak mengambil inspirasi dari film-film tersebut.

Seperti Rangsangan Ghaib, bercerita tentang kisah cinta segitiga Amanda, Bram dan Santi, mantan Bram yang sudah terbalut kain kafan. Di film tersebut Amanda berpacaran dengan Bram dan pada suatu malam Amanda mendapati Bram sedang memadu nafsu dengan mayat Santi yang sudah menjadi pocong. Menariknya, ketika mencapai poin klimaks film, Bram dan Amanda bertarung menggunakan alat-alat yang tidak masuk akal dan tiba-tiba muncul. Contoh seperti Amanda memukul kepala Bram menggunakan tabung gas 3 KG yang entah dari mana datangnya dan untuk memastikan Bram sudah benar-benar mati, Amanda menggunakan mayat Santi sebagai senjata. Absurd memang.

Lalu dalam Goyang Kubur Mandi Darah, Intan, Wiwid, dan Depi tengah dirundung duka atas meninggalnya sahabat mereka Nisa yang tewas dibunuh dan untuk menghormati Depi, mereka merayakannya dengan pesta ‘amer’. Di film ini Azzam mengambil banyak inspirasi dari horor esek-esek namun dengan estetika film bernuansa neon. Kombinasi yang tidak lazim namun menarik. Poin klimaks film ini pun tidak kalah absurdnya, Wiwid ternyata adalah orang yang membunuh Nisa sebagai tumbal untuk mendapatkan kekuatan berubah bentuk. Pada akhirnya Wiwid dan Intan bertarung—lagi-lagi memakai senjata tidak lazim—menggunakan dildo dan obeng. Lucunya adalah ketika dildo dan obeng menghantam satu sama lain, efek suara yang diberikan seperti pedang berhantaman. Logika dijungkirbalikkan pada film ini. Oh iya, bagi siapa pun yang membuat soundtrack film ini, saya salut dengan anda. Ciamik!

Ditambah lagi Azabku Azabmu yang menggunakan stereotip film religius Indonesia. Seorang janda miskin mempunyai seorang anak yang durhaka. Semua aspek dalam Azabku Azabmu dibuat sedemikian rupa menyerupai film religius era 2000-an. Title card film yang seperti seadanya, dialog yang pas-pasan, dan jangan sampai lupa dengan ustad yang selalu datang memberikan wejangan kepada si durhaka. Klise memang, dan Azzam berhasil memanfaatkan pengetahuan penonton terhadap genre tersebut lalu memberikan twist di akhir film.

Kemudian acara ditutup dengan pemutaran Kuntilanak Pecah Ketuban. Berkisah tentang Santi yang harus menerima kenyataan kalau adik kembarnya, Sinta, berselingkuh dengan suaminya, Krisna. Sinta dan Krisna lalu membunuh Santi dan mengirimnya ke neraka. Ketika di neraka, Santi membuat perjanjian dan bersetubuh dengan iblis penjaga pintu neraka untuk dapat kembali hidup dan membalaskan dendamnya ke Sinta. Lagi-lagi Azzam menyematkan logika absurd ketika janin hasil persetubuhan Santi dan iblis digunakan untuk membunuh Krisna dan mengirim Sinta ke neraka. Nilai jual dari film ini ketika Sinta akhirnya masuk neraka dan VFX yang memang diberikan seadanya namun dengan soundtrack bernuansa indie yang dibuat band asal Kediri, Kiarakelana. Di momen ini, tempo film diturunkan dan penonton dibuat bersimpati dengan keadaan Sinta yang berada di neraka.

Azzam Fi Rullah memang membuat film ‘sampah’ dan ‘aneh’, namun dia justru mempertebal lapisan film Indonesia. Dengan membuat filem kelas B, Azzam justru mengukuhkan gaya penceritaan dan penyutradaraan dirinya. Dahulu ketika saya pertama kali menonton film horor esek-esek dan religius, saya sangat jijik dan berfikir kalau film Indonesia tidak mempunyai kualitas. Lalu khasanah film saya terbuka ketika mendengar nama Azzam dan film-filmnya yang absurd. Di sini saya berpikir kalau film itu mempunyai banyak bentuk dan tidak ada yang jelek atau bagus. Menutup tulisan ini, mengutip salah satu perkataan teman saya, “Film itu tidak ada yang jelek, film itu hanya harus ketemu dengan penonton yang tepat.”

Aulia Imam Nurfaisal

Dewan Kurator Film Atelir Ceremai

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *